Rabu, 04 April 2012

PUISI FESTIVAL SASTRA INDONESIA II


PILIHAN PUISI UNTUK VISUALISASI PUISI


SUKMA LAUT
Oleh : Aspar Paturusi

benarkah aku menukik atau hanya mengapung
ketika kuselami dasarmu yang paling dalam
di tengah pukulan arus dan gelombang
kucoba menggenggam segumpal keyakinan
namun sekumpulan riak gelisah dan bimbang
menjadikan aku sibuk mencari arah yang hilang

jika memng engkau memiliki dasar
di dasar mana aku membaringkan mautku
dan kamilau birumu masihkah menawarkan tenteram
            dasarmu yang dalam
            warnamu yang biru
di sana bermukim
lumut-lumut rahasia
dan celakanya, terlanjur alu hanyut oleh arusmu
sukmamu tak henti mengalirkan arus dan gelombang
sukmamu terguncang-guncang dalam diam dan bimbang


SANG KERIKIL
Oleh : Aspar Paturusi                                              
apa lagi yang harus dilakukannya
selain memilih sikap bijak dan tabah
betapapun ia tetap sebutir kerikil
beradab ia terjepit di bawah batu gunung

ia pernah mengharap menjadi ledakan
membayangkan batu-batu beterbangan
ini bisa terjadi, harapnya
lantas ia akan bebas melayang

mungkin butirannya kian kecil
tapi ia tak peduli
mungkin ia bakal terlempar di halamanmu
anakmu yang bungsu suatu ketika memungutnya
melambungkannya lagi ke tengah belukar
sekedar obat kesal karena tak jadi pesiar

pasti lebih baik begitu, pikir sang kerikil
daripada butir dan nasib kian kerdil
tenggelam di tangan mungil kanak-kanak
masih lebih tebebas, dibanding tertindih batu gunung


PELAUT
Oleh : Aspar Paturusi

dalam dera waktu  dan kerontang kemarau
bisakah cair kebekuan kerang hatimu
tangis bayi lewat jendela menjangkau bulan
masihkah mampu menjentik secuil rasa haru

dalam desir air dan ceriit burung di dahan
bisakah bangkit cerah pagi dari dekapan matahari
riuh anak-anak di muara sungai bermain mimpi murni
mampukah memanggil pelaut pulang ke pantai

dalam sobekan hari dan tahun-tahun lewat
sekalipun pandangmu seluas laut
karang di sampingmu memecahkan dinding perah



PILIHAN PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI

Lingkungan Kita Si Mulut Besar
Oleh: Wiji Thukul

Lingkungan kita si mulut besar
Dihuni lintah-lintah
Yang kenyang menghisap darah keringat tetangga
Dan anjing-anjing yang taat beribadah
Menyingkir para penganggur
Yang mabuk minuman murahan

Lingkungan kita si mulut besar
Raksasa yang membisu
Yang anak-anaknya terus dirampok
Dan dihibur filem-filem kartun amerika
Perempuannya disetor
Ke mesin-mesin industri
Yang membayar murah

Lingkungan kita si mulut besar
Sakit perut dan terus berak
Mencret oli dan logam
Busa dan plastik
Dan zat-zat pewarna yang merangsang
Menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
Yang mengulum es
Limapuluh perak.


SAJAK MATAHARI
Oleh : W.S. Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !

ADA BOM DALAM DIRIKU
oleh : Aslan Abidin

akhirnya aku harus menyesalkan diriku ada di sini,
di sebuah negeri yang disesaki para pencuri. negeri
yang dipimpin perempuan-perempuan persegi
empat dan lelaki-lelaki bulat yang hatinya ada di
dubur dan duburnya ada di hati.

aku duduk di sebuah kafe, menghadap jendela menatap
gadis-gadis lalu lalang dengan jins ketat. aku menghirup
secangkir kopi sambil membayangkan kemaluan mereka
yang empuk.

petang dan hujan baru saja turun dalam jiwaku.
hatiku basah tenggelam dan sudut-sudut mataku
terasa dingin. hanya kopi dan sesuatu yang melekat
di selangkanganku yang terasa hangat dan berdetak.

di hadapanku tergeletak selembar Koran:
mengabarkan kenaikan harga bbm, listrik, dan
telepon. di negeri  yang dipimpin para pencuri
tak ada lagi harga yang murah, selain harga diri.

donat merek asing pesananku akhirnya datang. pelayan
sintal meletakkannya di meja sambil menyorongkan
kedua buah dadanya yang besar. ia seperti ingin
menjejalkannya  ke mulutku

“produk asing, cara
pelayanan dan cita-rasanya berbeda,”
aku menghibur diriku. tapi selangkanganku terasa
panas, menggelegak, dan meledak



Tidak ada komentar:

Posting Komentar